NDP-Bali, Schapelle Leigh Corby, terpidana kasus narkoba asal Australia, menuai kritik dari politikus Senayan. Pemberian pengampunan kepada Corby dinilai sebagai standar ganda pemerintah dalam pemberantasan narkoba.
Anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo, mempertanyakan mengapa Kemenkum HAM mengeluarkan kebijakan pengetatan remisi untuk terpidana korupsi, narkoba dan terorisme, jika akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan grasi untuk Corby.
"Coba kita lihat, beranikah Wamenkum HAM Denny Indrayana mengecam presiden yang memberi grasi kepada Corby? Kalau dia diam, itu cerminan standar ganda yang dipraktikkan pemerintahan ini dalam mengelola sejumlah kasus hukum," kata Bambang.
Politikus Golkar itu mengatakan, aspek yang seharusnya menjadi kekhawatiran bersama dari grasi untuk Corby adalah hilang atau menurunnya efek jera bagi pelaku kejahatan narkoba.
"Bandar besar narkoba akan menilai bahwa selain oknum aparaturnya gampang disogok, pemerintah RI bisa melunak hanya karena loby," ujar dia.
Dia menilai grasi untuk Corby juga bisa menjadi preseden buruk. "Bukan tidak mungkin, para bandar besar akan menjadikan Australia sebagai base untuk menyelundupkan narkoba ke Indonesia. Kalau ada masalah, bukankah pemerintah RI bisa diajak damai dengan lobi-lobi?" ujarnya.
Surat Keputusan Presiden No 22/G tahun 2012 soal grasi itu dikeluarkan pada tanggal 15 Mei 2012. Dalam surat itu, presiden memberikan grasi kepada Corby berupa pengurangan jumlah pidana selama lima tahun sehingga hukuman pidana penjara yang dijatuhkan kepada terpidana dari pidana penjara 20 tahun menjadi pidana penjara 15 tahun.
Sedangkan pidana denda tetap harus dibayar. Jika merujuk putusan Mahkamah Agung tanggal 28 Maret 2008 yang menolak Peninjauan Kembali (PK) Corby, maka dia tetap harus membayar denda sebesar Rp 100 juta.
0 komentar:
Posting Komentar