"TERDUGA TERORIS DITANGKAP TIM DENSUS 88, DENGAN BARANG BUKTI BERUPA DETONATOR, BUKU JIHAD, TABUNG GAS BERISI NITROGLISERIN"..."JOKOWI TETAP AKAN MELAKUKAN SIDAK DAN TERJUN KE LAPANGAN UNTUK MENGETAHUI KONDISI RAKYAT "....."CHELSEA AKAN KEHILANGAN COLE DAN LAMPARD"....."LORENZO MASIH BERADA DI PUNCAK KLASEMEN DI MOTO GP MALAYSIA"...."POLISI TETAPKAN PELAKU PEMOTRETAN ATAS NOVI AMALIA ADALAH TIGA ORANG"......"MENPORA TETAP MENGAKU TIDAK TERLIBAT KORUPSI HAMBALANG DAN MENYERAHKAN SEMUA PERKARA PADA PIHAK BERWAJIB "......"Kopi Luwak Asli ( JML Coffee ) membuka Pelatihan GRATIS Bisnis Kopi Luwak Asli Penangkaran Hub ; 0899.55.93.913"
Update Senin (30/10) " Kakak NT (Red: Sunardi, wajahnya mirip NT) juga ditangkap Tim Densus 88 untuk dimintai keterangan , tetangga bahkan tidak menduga kalau NT terduga jaringan teroris"

Ada Yang Menangis di Blok Cepu

Kamis, 05 April 2012

DPRD Kabupaten Blora mempermasalahkan UU No 33/2004 pasal 19 tentang Dana Bagi Hasil (DBH) sumber daya minyak bumi dan gas yang dinilai tidak adil sehingga merugikan wilayahnya.Dalam UU 33/2004 pasal 19 ayat (1) disebutkan penerimaan pertambangan minyak bumi dan gas bumi yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber data alam pertambangan minyak bumi dan gas bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi pajak dan pungutan lainnya. Di pasal itu juga dijelaskan rincian DBH sebesar 3,1% untuk pemerintah provinsi yang bersangkutan, 6,2% untuk Kota atau Kabupaten Penghasil dan 6,2% untuk Kota atau Kabupaten di sekitarnya. Sementara sisanya berdasarkan pasal 14 (e) menjadi hak Pemerintah Pusat.Anggota DPRD Komisi B Kabupaten Blora Seno Margo Utomo mengatakan, pihaknya keberatan atas undang-undang yang diberlakukan Pemerintah. “Menurut pemerintah pusat, definisi daerah penghasil adalah kabupaten atau kota yang dieksploitasi migasnya, dengan kata lain, daerah yang di wilayahnya terdapat mulut sumur migas yang sedang diekstrak” kata Seno dalam forum diskusi kasus Blok Cepu, tadi siang.Definisi tersebut, katanya, merugikan karena sebagian besar mulut sumur Blok Cepu berada di daerah Bojonegoro, Jawa Timur. Padahal kandungan minyak tidak hanya terdapat di daerah Bojonegoro karena Blok Cepu berada tepat di perbatasan Blora dan BojonegoroSeno merasa dalam kasus ini pemerintah pusat tidak konsisten dalam mengelola Blok Cepu. “Sudah ada Peraturan Pemerintah (PP) No 35/2005 yang mengatur Participating Interest (PI), tapi kenapa masih menggunakan mulut sumur sebagai dasar DBH?” tambahnya. Berdasarkan PP No 35/2005 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas, pasal 34 telah mengatur bahwa pihak kontraktor wajib menawarkan Participating Interest kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebesar 10%“Blora melalui PT Blora Patragas Hulu telah memiliki PI sebesar 2,182% dan telah menginvestasikan lebih dari Rp150 miliar, tapi hingga saat ini baru mendapakan DBH sekitar Rp5 miliar” tandas Seno.Menanggapi pernyataan tersebut, pengamat sumber daya miga, Kurtubi, dalam acara yang sama mengatakan seharusnya Pemerintah Pusat dapat memberikan peraturan tambahan mengenai blok pertambangan yang berada di perbatasan dan melakukan amandemen pada UU No 33/2004. “Pembagian hasil sumber daya migas sebesar 84,5% bagi Pemerintah Pusat itu terlalu besar. Apalagi terkait dengan kasus Blok Cepu yang posisinya berada tepat di perbatasan.” kata Kurtubi.Dia menambahkan, untuk kasus semacam ini Pemerintah Pusat harus rela mengurangi jatahnya untuk diberikan kepada Kabupaten Blora sesuai dengan PI yang telah disepakati.“Bukan mengurangi jatah yang dimiliki Pemkab Bojonegoro, tapi mengurangi jatah yang didapat Pemerintah Pusat, dengan begini seluruh daerah dapat mencapai kemakmuran dan mendukung jalannya otonomi daerah” jelasnya.“Tetapi kalau untuk mengamandemen undang-undang terlalu sulit dan lama, bisa dilakukan pengecualian dengan membuat PP atau Peraturan Menteri untuk dapat segera menyelesaikan kasus-kasus semacam ini” tandasnya Kurtubi. Ladang minyak mentah dan gas yang diprediksi dapat menghasilkan 150 - 160 ribu barel per hari (bph) ini, masih belum memberikan kontribusi yang berarti. Sebaliknya, Negara berpotensi rugi sekitar AS$ 150 juta akibat molornya operasional blok penghasil migas tersebut. Blok yang menjadi salah satu andalan pendapatan bagi Negara ini seharusnya sudah berproduksi sejak tahun 2008. Sejatinya, 'ladang uang' yang terletak di perbatasan Kabupaten Bojonegoro (Jatim) dan Kabupaten Blora (Jateng) itu diyakini bakal mengalahkan produksi PT Caltex Pacific Indonesia yang menghasilkan 417 ribu bph atau 45 persen dari total produksi Indonesia, serta PT Pertamina (Persero) dan anak perusahaannya sebesar 150 ribu bph (16,2 persen). Namun, masalah izin pembebasan lahan dengan Bupati Tuban, ditambah lagi pencabutan izin penggunaan lahan hutan dari Departemen Kehutanan, membuat pengelolaan blok tersebut mendek. Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR Kamis (14/5) pekan lalu, Kepala BP Migas, R Priyono mengemukakan ada tiga permasalahan dominan yang menghambat produksi migas di Blok Cepu. Hambatan tersebut adalah sdoal pembebasan lahan, bencana alam yang terjadi di Houston, AS sehingga membuat penyelesaian fasilitas produksi menjadi mundur, dan kendala izin dari Bupati Tuban, Jatim. Untuk masalah lahan, sudah kami sampaikan ke Menteri ESDM, katanya. Jadi, tertundanya produksi Blok Cepu bukan hanya kesalahan ExxonMobil, tapi faktor di luar Exxon turut menyumbang masalah ini, tambahnya. Sekedar mengingatkan, Blok Cepu merupakan salah satu ladang yang dulunya 'diributkan' oleh PT Pertamina (Persero) dengan ExxonMobil Oil Indonesia. Pemerintah sempat bingung untuk memilih keduanya. Saat Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih dijabat Sugiharto, kedua perusahaan 'ngotot' untuk mengelola blok tersebut. Apalagi saat itu Pertamina dikomandoi Widya Purnama, sosok yang kental dengan rasa nasionalis. Tentunya dia tidak mau salah satu blok minyak tersubur di Nusantara itu dikelola oleh pihak asing.
Wajar bila saat itu Widya bersikeras untuk mempertahankan Blok Cepu. Soalnya, secara historis ladang minyak tersebut memang milik Pertamina. Keberadaan Exxon di Blok Cepu lantaran Presiden Soeharto yang ketika itu berkuasa 'menghadiahkan' blok tersebut kepada putra bungsunya, melalui PT Humpuss Patra yang kemudian menjalin kerjasama dengan Exxon. Singkat cerita, setelah Widya 'dilengserkan', dan Pertamina dinahkodai Ari Soemarno, pemerintah akhirnya memutuskan pengelolaan Blok Cepu dilakukan secara bersamaan antara Pertamina dan Exxon melalui Joint Operation Agreement (JOA), dengan Exxon sebagai operator. Namun proses Kontrak Kerja Sama JOA tidak serta merta berjalan mulus. Di tengah jalan sering terjadi perselisihan. Keputusan pemerintah itu seringkali digugat, baik oleh rakyat maupun mantan pejabat Negara. Pemerintah dianggap tunduk kepada Amerika Serikat. Sayang, proses 'rebutan' yang terbilang seru itu belum sebanding dengan capaian yang berarti. Produksi pertama minyak Blok Cepu sebesar 20.000 barrel per hari berulang kali mundur dari target yang ditetapkan. Sebelumnya, pemerintah menargetkan produksi pertama Cepu pada akhir 2008, tetapi hingga kini belum berproduksi. Terakhir, produksi pertama Cepu ditargetkan mulai Agustus 2009. Dari produksi 20.000 barrel per hari tersebut, sebanyak 10.000 barrel per hari di antaranya direncanakan masuk ke fasilitas Pertamina dan 6.000 barrel per hari diproses di kilang mini PT Tri Wahana Universal (TWU). Blok Cepu sendiri baru akan berproduksi puncak sebesar 165.000 barrel per hari pada 2012-2013. DPR jelas mempertanyakan molornya produksi Migas di Blok Cepu. Merasa penasaran, lembaga tertinggi Negara itu pun langsung memutuskan untuk membentuk tim untuk mencari penyebab tertundanya produksi migas sekaligus melakukan verifikasi langsung ke lapangan. "Keterlambatan produksi ini telah mempengaruhi pendapatan negara," kata kata Ketua Komisi VII Airlangga Hartarto. Rencananya, Tim yang diberi nama Tim Blok Cepu itu akan beranggotakan 52 orang dan akan diketuai salah satu unsur pimpinan Komisi VII DPR.

0 komentar:

Posting Komentar

Internasional

Ke Halaman Depan

 
 
 

Berita Populer

Entri Populer

Diberdayakan oleh Blogger.

followers