NDP-Temanggung , eloknya Dieng sudah mempesonakan ribuan orang untuk datang. Dataran tinggi yang katanya tertinggi ke dua di dunia itu menyimpan banyak keindahan dan keajaiban. Maka siapa yang tidak tergoda untuk kesana?
Tak terkecuali aku. Rasa penasaran itu sudah lama muncul. Dan rencana untuk mengunjunginya sudah ada sejak setahun yang lalu. Namun, rupanya belum banyak kesempatan yang mendukung rencana itu sehingga pada akhirnya, saat rasa penasaran itu sudah memuncak jadilah ‘nekat’ menggerakkan tubuh ini untuk mengunjunginya; sendirian!
Beruntung, dari kantor tempatku bekerja menugaskanku untuk ke Banjarnegara. Dan ternyata Dieng terletak -sebagiannya- di kabupaten itu (sebagiannya yang lain menjadi wilayah kabupaten Wonosobo, Kendal dan Temanggung). Sebuah peta menunjukkan posisi dimana tempat yang akan aku kunjungi dan aksesbilitasnya menuju Dieng.
Jadilah! Sebuah peta pulau jawa dan informasi yang di-googling dari ponsel mungilku menjadi teman perjalanan.
Sabtu, 06.00
Jogja masih berdiam dalam dingin. Belum banyak kendaraan berkejaran di jalan, kecuali beberapa bakul yang baru kulakan dari pasar Kranggan. Aku berangkat menuju terminal Jombor diantar teman. Sudah ada bus ekonomi jurusan Magelang yang ngetem menunggu penumpang. Aku pun naik dan selang beberapa saat ada bus lain yang datang ke terminal, sehingga bus yang aku tumpangi pun berangkat. Tahukah? bahwa ternyata bukan hanya waktu yang dijadikan patokan ngetem bagi bus-bus disni, atau pun jumlah penumpang, melainkan juga datangnya bus lain yang akan menjuguli antri.
Sekitar satu jam setengah perjalanan menuju magelang dengan bus Mustika ini. Ongkosnya; Rp. 8000,- Beruntung rapat paripurna DPR malam sebelumnya memutuskan untuk menunda kenaikan BBM per 1 April sehingga ongkos angkutan pun belum membengkak.
Menurutku terminal bus Magelang tidak terlalu besar. Meski banyak bis bis besar jurusan Semarang hingga Surabaya, aku tetap kesulitan mencari bis jurusan Wonosobo. Maka sambil memenuhi hajat kecil di toilet, aku tanyakan pada penjaga disitu. Dan rupanya armada bus yang menuju Wonosobo dari sini ukurannya hanya 3/4 atau seukuran bis kota di Jogja. Itu pun posisi pemberhentiannya hampir di ujung, dan saat aku kesana busnya justru ngetem di tengah, dekat pintu keluar terminal. wahh..
Naik bus Magelang-Wonosobo ini jantungku disiagakan. Selain ngebut, bis ini saling salip dan berkejaran dengan bus lain. Kejar setoran, barangkali. Ongkos Rp. 15000 melayang untuk membawa jasadku ke terminal Wonosobo. Beruntung, kernet yang berjaga di pintu belakang srawung dan asyik diajak ngobrol. Maka sepanjang perjalanan saat tidak ada turun-naik penumpang aku bertanya-tanya tentang akses ke Dieng, maupun ke Banjarnegara selepas dari Dieng sorenya.
Hawa dingin menyerobot masuk melalui pintu belakang yang terbuka. Di kanan kiri jalan menghampar kebun tembakau, cabai, kol, ada juga teh dan tanaman pegunungan lainnya. Sindoro-Sumbing berjaga dibalik kabut putih yang menyembunyikan puncaknya.
Sesuai petunjuk dari kernet bus tadi, di terminal Wonosobo aku pun naik mikro bus yang katanya lebih cepat sampai di tempat tem-teman angkutan menuju Dieng. Di perempatan Kauman, aku turun dan berganti mikro-bus lain yang kali ini akan membawaku menuju Dieng. Mikro bus di kota ongkosnya hanya Rp 2000 dan menuju Dieng, saat aku menyodorkan Rp 10000 rupanya masih ada kembalian Rp 2000.
Aku sempat ditawari untuk mencarter mikro bus itu, Rp 250 ribu katanya! gila aja, lagian masa backpackeran pake nyarter mikro bus, sendirian lagi.. hahaha.. aku pun menolaknya dan meminta maaf.
Hampir sejam perjalanan menanjak dan berkelok-kelok itu. Karena aku duduk di depan, maka dengan leluasa melihat hamparan pemandangan di sepanjang jalan.
Salah satu komoditi yang terkenal dari Dieng adalah kentang. Di sepanjang jalan, tanaman kentang menghampar di bukit-bukit berkabut. Saat kabut itu menebal, jarak pandang hanya sepelemparan batu. Bis pun memelankan lajunya. Di depan sana terlihat truk dengan bebannya yang tampak berat merangkak terkentut-kentut. Asap knalpotnya hitam tanda pembakaran solar dalam mesinnya tidak sempurna.
12.05
Tengah hari, tapi tempat ini begitu dingin tanpa semburat matahari. Hanya remang putih kabut mengelilingi bukit-bukit di kejauhan. Secara fisika, cahaya disni tentulah hanya dari cahaya pantulan. Mikrobus berhenti tepat di pertigaan Dieng. Ada papan selamat datang dari beton di cat biru, mungkin karena usianya yang sudah lama, papan itu tampak rapuh dan rusak. Akhirnya; Dieng, aku pun bisa menjejakkan kaki diatas tanahnya, aku mereguk udaranya dengan dalam, melepaskannya, menghirupnya..lagi..lagi…
Dari titik itu, tujuan pertamaku adalah Telaga Warna yang katanya entah berwarna apa. Dari pertigaan ambil arah kiri dan sekitar setengah kilometer sampailah di sebuah loket kecil yang dikelola warga. Tiketnya Rp. 6000,- dan masuklah aku melalui pintu ilegal. Kata bapak penjaganya kalau lewat pintu masuk utama tiketnya bisa lebih mahal.
Di obyek itu, sebenarnya bukan hanya ada telaga warna, melainkan juga ada Telaga Pengilon dan beberapa gua seperti Gua Semar, Gua Sumur dan Gua Jaran. Setelah melihat dan bertanya pada orang setempat, rupanya warna yang tampak kehijauan maupun kadang menjadi putih dan kadang bening itu disebabkan karena kadar belerang yang ada dalam airnya. Makannya disini jangan berharap bisa sambil memancing, karena tidak ada ikan yang betah hidup di dalam airnya.
Ada setapak kecil yang mengkait-kaitkan telaga dan gua-gua di sekitarnya. Ditengah-tengah wisatawan lain aku berjalan menikmatinya sendirian.
Dari tempat itu kemudian beranjak menuju Dieng Theatre, semacam bioskop yang menayangkan film sekilas tentang dataran Tirnggi Dieng. Durasiya tidak sampai setengah jam, sekitar 23 menit. Untuk masuk disini dikenakan tiket Rp. 4000. Ada yang lucu saat antri membeli tiket di loket petugas, ada pengunjung bertanya: “mas nanti boleh ngopi filmnya pake flashdisk?” hahaha.. aku membatin saja tertawa kecil.
Tempat lain yang aku kunjungi adalah Kawah Sikidang dan kompleks Candi Arjuna. Sebenarnya kalau candi tidak terlalu tertarik untuk masuk, toh di sekitar Jogja sudah banyak sekali candi. Tapi rupanya di pintu masuk Kawah Sikidang sudah diberi tiket yang sekaligus ke Kompleks Candi, bodohnya aku tidak menanyakan atau minta untuk diberi tiket kawah Sikidang saja, sedangkan untuk candi tidak perlu. Akhirnya melayanglah Rp. 10000 di loket itu. Dan setelah berlama-lama menikmati kepulan asap dan pemandangan gejolak kawah, agar tidak rugi mau tidak mau harus menuju Kompleks Candi Arjuna.
Sebenarnya masih ada yang kurang dalam perjalanan itu. Entah dimana tempatnya, tapi kabarnya ada mata air Sungai Serayu di sekitar Dieng, atau suhu titik beku yang katanya sering datang di puncak musim kemarau. Aku belum bisa menikmati sensasinya karena barangkali waktu belum mengijinkannya.
Beristirahat sejenak di kios sekitar komples Candi Arjuna, sambil mengisi perut dengan kentang goreng dan minuman khas daerah sini yang terkenal itu: Purwaceng! Sambil bercanda sama penjual dan pembeli lain aku meminta untuk jangan diberi yang murni (takut kalau-kalau…hahaha) dan aku memesan yang sudah dicampur dengan susu dan madu, sekedar untuk mengurangi lelah dan menjaga stamina.
17.15
Aku sudah berada di pertigaan tempat pertama kali turun siang tadi. Menunggu mikro bus yang akan membawaku turun menuju Wonosobo. Kabut semakin lebat, jarak pandang begitu dekat. Sementara gelap pelan-pelan merayap menjadikan langit kian pekat. Wonosobo menyambutku dengan alunan adzan maghrib. Dan perjalanan masih harus dilanjutkan ke Banjarnegara.
Bus bagregan jurusan Purwokerto akan mengantarku menuju Banjarnegara. Kenapa aku sebut ia bagregan? karena selain kotor, rusak di sana-sini, sempat-sempatnya ia mogok di tengah jalan karena: kehabisan solar! Parah banget nih pak supir sama kondukturnya, lha wong dimana-mana banyak yang pada ‘nimbun’ buat antisipasi kenaikan BBM (walaupun ternyata belum jadi) eh ini malah kehabisan di tengah jalan. Fuel meternya mati pasti tuh. Akhirnya, di tengah rimbunnya kebun, para penumpang (tak terkecuali aku) menahan lelah dan bersabar menunggu bus ini bisa kembali melaju. Waktu itu, aku membunuh waktu dengan memutar beberapa lagunya Ebiet G. Ade yang katanya juga merupakan orang asli Banjarnegara.
Bus kembali melaju, sementara adzan Isya sudah menggaung di pungggung-punggung bukit. Setengah delapan, di perempatan dekat kantor Polres Banjarnegara aku turun dan melanjutkan perjalananku.
0 komentar:
Posting Komentar